Siswa Melakukan Pemalakan,Pihak Sekolah Seakan Tutup Mata

Dalam menanggapi hal ini nanang aripin langsung melaporkan
tindakan siswa tersebut ke polsek belik ,dia beranggapan pihak sekolah tidak
ada itikad baik untuk menyelesaikan secara kekeluargaan seakan tutup mata , dan
saat datang kesekolah sempat tejadi
ketegangan dengan pihak sekolah karena tanggapan dari oknum guru yang
kebetulan tetangga dari nanang aripin”
hal itu sudah sering tejadi “dan pihak sekolah tidak mengurusi satu
orang murid saja ,melainkan 800 siswa..!ungkap oknum guru tesebut.yang
notabenya tetangga dari nanang aripin.
Hingga saat ini pihak kepala sekolah
tidak bisa di temui oleh awak media ,hanya wali kelas 7E bapak makrus yang
menemui saat di konfirmasi dan menurut beliau pihaknya akan memanggil
orang tua siswa pelaku ,hingga berita ini di buat belum ada penyelesaian
dari pihak sekolah. Dugaan terjadinya pembiaran tampak nyata dengan kejadian di
kelas sekolahan tersebut, dan sampai saat ini
belum ada tindakan dari pihak sekolah .
Menurut penulis,staff pengajar pada IKIP Saraswati
Hal menarik untuk dikaji bersama
dari kasus tersebut adalah, sejauh itukah kemerosotan moral (akhlak) telah
melanda para siswa atau kejadian itu hanya kasuistis sifatnya, yang bisa
menimpa siapa saja, kapan saja, dan tidak perlu dipersoalkan? Memang dunia kini
sedang dilanda perubahan yang pesat akibat pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sasarannya meliputi tata nilai, norma-norma sosial, pola-pola
perilaku, interaksi sosial, dan lain-lain.
Dalam merespons perubahan
sosiobudaya dengan fenomena peradaban yang cenderung mendunia dan derasnya
desakan arus globalisasi, sekolah sebagai institusi yang bertugas membangun dan
membentuk kepribadian siswa harus adaptif dan responsif terhadap berbagai
perubahan yang terjadi di sekitarnya. Jika tidak, anak didik akan mudah
terjerumus dalam perilaku menyimpang terutama pada siswa SMA, sebab menurut
Ahmadi (1991) anak pada usia ini sedang berada pada masa pubertas dengan
ciri-ciri anak tidak hanya bersifat reaktif akan tetapi sudah mulai aktif dalam
rangka menemukan diri (akunya).
Dalam kondisi yang labil, anak akan
mudah terjerumus dalam berbagai perilaku menyimpang, bahkan amat rentan
diprovokasi untuk melakukan perbuatan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik
ketimbang akal sehat. Dalam kehidupan kemasyarakatan, anak pada usia ini sangat
mudah mengartikulasikan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam
masyarakat. Oleh karena itu, guru di sekolah selain bertugas memberikan
pengetahuan akademik kepada para siswa, membina sikap dan kepribadian mereka,
juga merupakan tugas yang tidak bisa diabaikan. Sebab, penjejalan berbagai
teori akademik tanpa diimbangi dengan penanaman nilai-nilai moral, etika, budi
pekerti, dan agama terhadap peserta didik, hanya akan melahirkan sifat-sifat
intelektual otoritarian yang cenderung ortodok.
Hal demikian akan menjadi sebuah
dialektika dalam sistem pendidikan nasional yang menjadikan Pancasila sebagai
abstraksi nilai tertinggi yang harus dihormati dan ditaati. Di dalamnya berisi
batas-batas moral, etika, dan sopan santun, yang menjadi faktor determinan
dalam proses pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian, baik guru di
sekolah maupun orangtua siswa di rumah harus bersama-sama memperhatikan proses
perkembangan pendidikan atau kepribadian anak, dan tidak saling melempar
tanggung jawab. Tugas guru memang berat, di samping mengajar juga harus
mendidik. Di tengah-tengah kuatnya tuntutan terhadap profesionalisme guru untuk
memajukan dan meningkatkan kualitas lulusan pendidikan, di Denpasar justru
muncul sifat premanisme yang dilakukan dua orang siswa di Denpasar baru-baru
ini, yakni melakukan pemerasan (pemalakan) terhadap seorang siswa dari sekolah
lainnya. Kasus demikian telah menimbulkan kecemasan sosial, baik bagi
lingkungan sekolah maupun masyarakat secara luas. Sebab, menurut Hary H.Gunawan
(2000), ekses dari perilaku siswa semacam itu dapat menimbulkan gap generation
dalam arti anak-anak yang diharapkan sebagai kader penerus atau pemimpin bangsa
(revitalising agent) malah tergelincir ke dalam lumpur kehinaan, bagaikan
kuncup bunga yang gugur sebelum mekar menyerbakkan bau wangi.
Premanisme
Siswa
Perilaku memalak yang dilakukan
siswa itu, hanya salah satu bentuk sikap premanisme siswa yang muncul ke
permukaan, mungkin di beberapa sekolah lain banyak sikap premanisme semacam itu
yang barangkali dipandang sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Guru,
orangtua, dan pemerintah seharusnya tidak boleh bersikap apatis dan permisif
terhadap gejala sosial yang melanda kalangan siswa tersebut. Sebab, jika
toleransi terhadap perilaku semacam itu dikondisikan, lambat laun sekolah tidak
lagi dipandang sebagai pusat kebudayaan yang mampu melahirkan manusia-manusia
intelek yang bermoral dan bermartabat tinggi, akan tetapi sebagai tempat
''mencetak preman'' yang dalam hidupnya menghalalkan berbagai cara untuk
memenuhi keinginannya.
Terhadap kasus tersebut, siapa yang
seharusnya paling betanggung jawab? Tanpa bermaksud mencari siapa yang
bersalah dalam kasus itu, dan untuk mencari solusinya mungkin ada baiknya jika
mengacu pada pandangan Merton yang menyatakan bahwa manusia dibentuk oleh
struktur sosial di mana mereka hidup. Inti dari pandangan Merton adalah masalah
sentral dalam struktur sosial meliputi pilihan-pilihan di antara
alternatif-alternatif secara sosial. Artinya, dalam melakukan tindakannya orang
memiliki beberapa pilihan, akan tetapi alternatif ini secara sosial akan
dimantapkan oleh tuntutan-tuntutan normatif. Dengan demikian, dalam pandangan
tersebut para aktor memiliki kebebasan yang luas untuk melakukan apa saja yang
mereka inginkan (Poloma, 1984:45).
Jika mengacu pada hal tersebut dan
bila dihubungkan dengan perilaku siswa pemalak sebab, mereka (pemalak-red)
sudah tidak melihat lagi ada batas-batas moral, norma, dan nilai-nilai yang
membatasi tindakan mereka dalam upaya memenuhi keinginannya. Memang menurut
Merton para aktor memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang mereka
inginkan, tetapi Merton juga menegaskan bahwa dalam menentukan pilihannya
secara sosial harus dimantapkan oleh tuntutan-tuntutan normatif. Artinya,
Merton pun mengakui bahwa masih ada batas-batas moral, nilai, dan norma yang
harus diperhatikan oleh para aktor dalam menentukan pilihannya, dalam arti
tidak sebebas-bebasnya.
Pandangannya ini dijadikan acuan
dalam mengantisipasi kemungkinan meluasnya kasus premanisme di kalangan para
siswa. Sebab, bagimana pun majunya perkembangan kebudayaan masyarakat akibat
ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai kesusilaan, sopan santun, dan
nilai-nilai moral hendaknya tetap dijadikan pilar dalam membangun karakteristik
dan kepribadian para peserta didik. Jika tidak, ketinggian ilmu
pengetahuan yang dimiliki para siswa tidak akan berarti apa-apa. Betapapun beratnya
tugas memanusiakan manusia, semua itu harus dilakukan para guru dengan hati
yang tulus. Sebab, guru sebagai pencetak kader-kader bangsa merupakan suatu
profesionalisme yang memerlukan dedikasi tinggi, meski penghargaan permerintah
terhadap mereka (guru-red) belum sebanding dengan tugas yang dibebankan di
pundak para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.
Jadi, dalam menjalani kehidupan di
dunia fana ini, siswa, guru, atau siapa pun harus tetap menjadikan moral,
etika, dan sopan santun sebagai batas-batas dalam berperilaku. (Tim posben)